Jumat, 26 Juni 2015

Tunggu Aku Pulang ! #MahasiswaPerantauan

1. Di Perantauan Aku Bukan Lagi Anak Manja yang Dulu. Di Sini, Aku Harus Berjuang Demi Meningkatkan Taraf Hidupku


            Hidup memang tidak seringan saat aku masih di rumah dulu. Ketika aku masih bisa berjumpa setiap pagi,setiap jam dan setiap waktu, atau ketika aku bisa dengan enteng ke dapur lalu memintamu memasakkan hidangan yang kusukai.

Tapi tak ada yang kusesali dari keputusanku ini. Bertekad merantau jadi salah satu keputusan terbaik yang pernah kuambil sejauh ini.
            Di sini aku belajar jadi pejuang. Jadi orang yang harus mau pasang badan begadang sampai malam demi mewujudkan keinginan. Di tanah yang baru ini kedewasaanku digembleng sedemikian rupa. Aku dipaksa jadi lebih kuat sebagai manusia.Keyakinan bahwa di sini aku berkembang jadi cambuk setiap rasa menyerah dan ingin pulang datang. Aku harus jadi anak yang membanggakan. Aku tidak dididik Ibu dan Ayah untuk mudah menyerah.

2. Mati-matian Kucoba Menciptakan Kenyamanan Seperti di Rumah. Tapi Ternyata Tak Semudah Itu Dibawa Pindah.


            Dari dulu Ibu selalu berpesan. Aku harus jadi anak tangguh yang bisa bertahan di mana saja. Sampai sekarang nasihatmu ini masih ternging di telinga. Kata Ibu zona nyaman selalu bisa diperluas.

Rumah adalah perasaan. Bukan hanya bangunan permanen yang tak bisa dipindahkan.
           Di tempat baru ini, perlahan kuciptakan lagi rasa di rumah yang selalu ingin kudapati. Seharusnya, ini membuatku selalu merasa pulang ‘kan? Tapi kali ini ekuasiku tidak berjalan sesuai harapan. Tetap ada ruang kosong yang berlubang walau sudah diganjal tambalan. 

3. Setiap Kali Rasa Lapar Melanda, Kehangatan Rumah dan Masakan Rumah yang Selalu Terputar di Kepala


            Saat masih di rumah dulu urusan perut tak pernah membuatku pusing seperti ini. Di rumah, paling mentok aku hanya harus melipir ke dapur untuk buka lemari — lalu mencomot apapun yang masih tersisa dari santapan siang tadi.
            Tapi tidak seperti disini. Boro-boro mau comot sana-sini. Aku harus berpikir berulang kali sebelum memutuskan mau makan apa malam ini. Saat sudah memantapkan hati dan beranjak pergi, eeeeh tak jarang warung langganan justru kehabisan menu andalan. Tak jarang aku harus puas dengan makanan apapun yang bisa ditemukan.Terkadang, di saat-saat miris karena lapar dan bingung harus makan apa macam ini — pikiranku terlempar ke dapur rumah yang selalu terisi.Betapa dulu aku menganggap remeh kemewahan yang ditawarkan masakan rumah yang selalu dihidangkan.
            Sementara kami merasa jadi orang paling sibuk di luar rumah, dalam diam Ibu berbenah di rumah demi menyiapkan hidangan terbaik untuk menyambut kami yang pulang dengan lelah. Aku yang dulu belum tahu susahnya jadi orang dewasa sering menjawab Ibu dengan santainya,
“Yah Bu…maaf udah makan di luar tadi sama teman.” “Nanti ah Bu makannya. Aku belum lapar.”